Pematang Siantar – tajamnews.co.id
Dalam beberapa waktu terakhir, keberadaan odong-odong di Kota Pematang Siantar menjadi sorotan sejumlah kalangan. Sebuah kelompok masyarakat bahkan telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Pematang Siantar demi menertibkan keberadaan odong-odong yang dinilai mengganggu ketertiban umum dan ketenangan warga.
Namun di balik semangat penertiban tersebut, muncul keprihatinan dari warga siantar, Advokat Andra P. Tarigan, S.H. Ia menyayangkan tindakan ekstrem yang langsung mempersoalkan odong-odong ke ranah hukum tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi yang menyertainya.
"Meniadakan odong-odong itu bukan solusi. Itu hanya akan menambah jumlah pengangguran di Pematang Siantar. Apakah mereka yang menggugat pernah berpikir, dari mana para pelaku usaha odong-odong ini menghidupi keluarganya?" ujar Andra dalam wawancara singkat bersama media tajamnews.co.id.
Menurut Andra, langkah hukum memang sah dilakukan dalam negara hukum. Namun, pendekatan yang hanya berpihak pada ketertiban semata—tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat kecil—berpotensi menimbulkan masalah baru.
"Odong-odong bukan hanya hiburan anak-anak, tapi juga sumber mata pencaharian bagi banyak warga. Ada sopir, pemilik usaha, teknisi, bahkan penjual makanan keliling yang ikut menggantungkan hidup dari keramaian yang dibawa odong-odong," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa solusi yang manusiawi dan proporsional seharusnya menjadi prioritas. Andra mendorong pemerintah kota agar tidak serta-merta menutup usaha odong-odong, melainkan mengatur dan membina pelaku usaha tersebut agar tetap dapat beroperasi dengan tertib, aman, dan tidak mengganggu warga lainnya.
“Kenapa tidak diberi zona khusus atau jam operasional tertentu? Kenapa tidak dibina atau diberikan pelatihan usaha lain sebelum disuruh berhenti? Pemerintah harus hadir sebagai penengah, bukan hanya sebagai eksekutor,” tegas Andra.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kondisi ekonomi masyarakat pascapandemi belum sepenuhnya pulih. “Langkah represif terhadap usaha kecil seperti ini justru memperburuk kondisi sosial. Ini ironis, ketika kita berjuang mengurangi kemiskinan, tapi malah menutup pintu rezeki warga kecil,” pungkasnya.
Masyarakat dan pemangku kebijakan diharapkan dapat membuka ruang dialog dan mencari jalan tengah yang adil dan manusiawi. Karena membangun kota yang tertib tak harus selalu dengan cara mematikan penghidupan orang lain.(red)